Kyoto ; Negeri yang Segalanya Asing

Rabu, 27 Juli 2016 0 komentar
Assalamualaikum wr wb.

Akhirnya nulis lagi dong. Sangat banyak yang ingin saya ceritakan di sini, berhubung mood naik turun di Semester pertama, jadinya hanya numpuk di kepala ceritanya. Ada apa dengan Semester Pertama?. Ini yang mau saya bagi.

Alhamdulillah segala Puji bagi Allah SWT. Saya dan suami diberi rejeki. Calon buah hati kami, sekarang berusia 21 minggu.
Setelah menikah di bulan September 2015 tahun kemarin, saya dan suami LDM (Long Distance Marriage). Suami kembali ke Kyoto  mencari sebutir berlian, saya di Makassar juga melanjutkan mencari berlian.

Dari awal komitmen kami menikah, saya harus ikut ke Kyoto bersama suami. Bukan keputusan yang gampang. Banyak hal yang harus 'dikorbankan'. Dalam hal ini, saya bekerja bukan untuk mengejar karir, tapi Kerja untuk melanjutkan hidup. Hehehe.. berat ya bahasannya?.

Jadi, setelah menikah. Sambil kerja, saya mengurus dokumen visa dan menyiapkan pengunduran diri di perusahaan. Berat rasanya meninggalkan orang-orang yang selama 8 tahun kemarin menemani saya bekerja. Orang-orang baik yang datang dan pergi dalam ikatan kerja bersama saya, semuanya membekas di hati. Semoga kalian tetap menjadi orang-orang baik. Selain mereka, keluarga yang menjadi berat saya tinggalkan. Keluarga yang 30 tahun lebih menemani hari-hari saya, harus berpisah untuk melanjutkan hidup baru.

'Pergi yang Jauh, Anak Muda!'

Iyahh... saya masih muda :D. Masih harus berkarya. Banyak mimpi yang ingin saya wujudkan. Karena dengan mimpi, menandakan kita masih hidup. Bukan begitu?. Kalau bukan, begituin sajalah biar beres :D.

Setelah semua urusan selesai, berangkatlah saya ke negerinya Ninja Hattori ini. Kegiatan apa yang akan dilakukan di Kyoto nanti, sudah rapi disusun. Kemudian rencana lain muncul. RencanaNya ternyata lebih indah. Rejeki yang tidak terduga.

Awalnya, setiba saya di Kyoto, akan mencari tempat kursus bahasa Jepang. Belum sempat mencari, belum sempat adaptasi, kok ya malassss bawaannya. Buat jalan saja, kaki seperti diseret saja biar bisa jalan. Pokoknya m-a-l-a-s.
Saya HAMIL!.

Alhamdulillah. Maha Suci Allah yang menciptakan makhlukNya.
Bisa jadi, saya belum harus kursus, bisa jadi saya harus tidak ke mana-mana dulu, bisa jadi saya harus di rumah saja dulu. Tidak ada yang tahu rencanaNya. Syukuri apa yang ada.
Saya harus belajar dari awal mengurus suami dan calon buah hati kami.

Di rumah, tepatnya mansion kata orang Jepang. Luas yang tidak seberapa. Memiliki kamar mandi, toilet, dan satu ruangan yang juga tidak cukup besar. Tapi insya Allah cukup menampung hati kami yang berbahagia.

***

Awalnya, saya begitu semangat untuk belajar bahasa Jepang melalui youtube. Ya Allah, melihat huruf kanji di mana saya memalingkan wajah jika sedang berjalan-jalan, membuat saya pusing dan ingin segera ke rumah tidur. Ini huruf apaaaahhh *mulai deramah* :D

Adakah keajaiban yang membuat saya langsung bisa membaca dan bercakap-cakap layaknya orang di Kyoto ini?. Doraemoonnn... yang kamu lakukan ke saya itu, JAHAP!. *salahkan Doraemon*
Hhhhh... Berani tidak berani, saya harus berani. Setelah mendapat panduan dari PakSwami tentang beberapa hal kecil di Kyoto, saya harus ke Swalayan. Sendiri. Saya seperti Dejavu. Seperti merasakan kembali hawa kegelapan ketika melakukan wawancara di tempat kerja dulu.

Bermodalkan rasa percaya diri yang maju tidak, mundur tidak, saya menyeret kaki ini menghampiri etalase-etalase sayuran, makanan, dan apa saja yang bisa membuat saya segera keluar dari swalayan secepatnya.

Bagian yang membuat hati saya tidak karuan, antri di kasir. Aduh... ya Allah. Tolong saya.
Tiba giliran saya.
Si Mba kasir menyapa saya dengan ramah dan bertanya.

"Eh maaf mba, ngomong apa?" 

Untungnya, si mba-nya tanggap, yang dia hadapi makhluk asing dari negeri api. Si mba ternyata sudah waspada dengan segala keahliannaya.

Ternyata si mba menanyakan kepada saya, apakah saya punya kartu langganan di swalayan itu. Saya menjawab dengan bahasa tubuh berkata tidak dan berkata No, i don't have. Si mba paham.
Setelah belanjaan saya dihitung mba kasir melalui alat scanner, dia menanyakan ke saya lagi, apakah saya butuh kantong plastik atau tidak, dengan memperlihatkan kantong plastik yang ada di rak bawah. Kembali saya paham apa yang dimaksud, saya memperlihatkan tas belanjaan. Si mba kasir pun mengangguk paham.

Proses percakapan absurd antara saya dan si Mba kasir selesai sudah. Saya melangkah keluar dari swalayan dengan perasaan, beberapa mata menempel di punggung, kepala, pundak, lutut kaki, lutut kaki *jadi nyanyik* hahahah...
Ah, bodo amat, yang penting saya sudah memeluk erat belanjaan untuk menyambung hidup.

Pengalaman yang tidak akan saya lupakan. Dan sampai sekarang pun masih terjadi. Saya akan menunggu detik-detik ketika saya sudah mahir bercakap dengan mereka di mana pun nantinya. Semoga suatu saat saya bisa menghafal ribuan huruf kanji yang tidak punya belas kasih itu.

Negeri ini asing. Sangat asing. Tapi saya percaya, berada di sini, akan memberikan pengalaman-pengalaman hidup yang tak terduga tentunya. Semoga Allah selalu menyertai langkah ini. Aamiin.




0 komentar:

Posting Komentar